Buah kopi siap panen di Dataran Tinggi Gayo, Takengon Aceh Tengah.
©CI, Fachruddin Mangunjaya
2/24/2012
Tanaman kopi dapat berkontribusi mengurangi dampak perubahan iklim, bagaimana caranya?
Oleh Saodah Lubis
Para penikmat kopi pasti mengenal Kopi Gayo. Karena selain sebuah trade mark kopi Arabica berkualitas. Kopi yang berasal dari Dataran Tinggin Gayo Aceh ini sudah dikenal sejak abad 17. Padahal kopi, bukanlah tanaman asli Indonesia, tanaman ini dibawa oleh kolonial Belanda melalui korporasi VoC ke Indonesia pada tahun 1699 dan dibudidayakan di Pulau Jawa.
Namun setelah itu mulai dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia antara lain, di Pulau Sumatera seperti Mandailing, Dairi dan di Dataran Tinggi Gayo. Di dataran Tinggi Gayo tanaman ini mulai dikembangkan pada tahun 1924. Kopi berasal dari Afrika, dimana pada mulanya tanaman ini adalah tanaman hutan yang hidup secara liar.
Namun saat ini hampir semua orang mengenal tanaman kopi. Tercatat ada empat juta orang manusia yang meminum kopi per detik. Menu kopi disajikan untuk menghangatkan suasana dingin, penghalau rasa antuk dan menciptakan kehangatan tubuh.
Adapun kopi arabika dari dataran Tinggi Gayo, telah dikenal dunia karena memiliki citarasa khas dengan ciri utama antara lain aroma dan perisa yang kompleks dan kekentalan yang kuat. International Conference on Coffee Science, Bali, Oktober 2010 menominasikan kopi Dataran Tinggi Gayo ini sebagai the Best No 1, dibanding kopi arabika yang berasal dari tempat lain.
Kopi Gayo dari Aceh
Dataran Tinggi Gayo merupakan penghasil kopi Arabika terluas di Indonesia. Lahan yang ditanam di kopi dikawasan ini mencakup 46.493 ha, dengan jumlah petani kopi lebih dari 20.000 KK, dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat.
Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah pegunungan dengan kondisi tanah yang subur, dan iklim tropika basah, sehingga menghasilkan kopi yang memiliki cita rasa tersendiri, sehingga terkenal ke mancanegara.
Ada dua jenis tanaman kopi yang tumbuh di Kabupaten Aceh Tengah yaitu kopi Arabika yang tumbuh hanya pada ketinggian diatas 800 m dpl, dan kopi Robusta yang tumbuh baik pada dataran rendah. Ke dua kopi ini memiliki cita rasa yang berbeda dan biasanya orang yang sudah terbiasa dengan kopi robusta tidak akan menyukai kopi Arabika.
Sebagai contoh di Propinsi Aceh terkenal kopi Ulhee Kareng, dimana kopi yang dijual adalah jenis robusta. Karena itu pada umumnya masyakarat di Banda Aceh atau daerah pesisir lebih mengenal cita rasa kopi robusta.
Sedangkan kopi Arabika lebih banyak di ekspor ke Amerika, Europa, Jepang dan berbagai negara lainnya. Walaupun penikmat kopi tentunya akan menyukai cita rasa kopi ini. Salah satunya adalah gerai khas kopi Starbucks yang terkenal. Para penikmat kopi akan sangat mengenal kualitas kopi strabucks, selain kualitas yang baik juga dengan harga yang hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas.
Kopi dan Perubahan IklimPembukaan lahan untuk perkebunan kopi akibat sebagai dampak animo masyarakat yang menggemari kopi, ternyata ada kaitannya dengan perubahan iklim. Berdasarkan hasil survei dari Conservation International pada tahun 2009, bahwa petani kopi telah memperluas kebun-kebun mereka pada kawasan hutan.
Aryos Nevada, melaporkan bahwa penyebab tertinggi deforestasi di kabupaten Aceh Tengah adalah disebabkan oleh perluasan kebun kopi masyarakat ke dalam kawasan hutan. Hal ini didukung pula dengan wawancara dengan masyarakat petani kopi bahwa mereka melakukan peluasan kebun kopi disebabkan setelah 5-6 tahun pohon kopi berproduksi maka produksinya akan menurun sangat tajam hanya mencapai 40- 60 %. Oleh karena itu masyarakat mencari lahan baru untuk perluasan kebun kopi, tentunya kawasan hutan.
BACA JUGA : Kopi Konservasi
Salah satu upaya untuk mengurangi deforestasi terhadap hutan sekaligus juga untuk menyelamatkan hutan di dataran tinggi gayo adalah mengubah pola tanam kopi yaitu dari monokultur menjadi heterokultur yang dikenal sebagai agroforestry.
Selama ini masyarakat memang menanam kopi secara tumpang sari, namun tanaman selanya adalah dengan tanaman semusim ketika pohon kopi masih kecil. Sedangkan pohon pelindung yang umum digunakan adalah jenis lamtoro, yang secara ekonomi tidak memberikan nilai tambah.
Seperti diketahui bahwa kopi pada awalnya adalah tumbuh di kawasan hutan pada daerah ketinggian, maka sudah selayaknya kondisi ini kita kembalikan, yaitu dengan membuat kebun kopi yang mix-culture yaitu menumbukan bermacam jenis pohon pelindung yang bermanfaat secara ekonomi dan diselingi dengan tanaman semusim seperti cabe. Di Kabupaten Aceh Tengah pola agroforestri di gunakan sejak lama, selain lamtoro, juga ditanam, jeruk, alpokat, nangka dan tanaman pohon lainnya.
LEBIH LANJUT : Kopi Aceh Selamatkan Lingkungan
Jadi untuk menghasilkan pengelolaan kopi yang berkelanjutan, disarankan untuk memberlakukan sistem agroforestri. Sistem ini dapat meningkatkan nilai produksi kopi sekaligus memberikan mutu kopi yang lebih baik, juga akan menjaga ketersediaan air serta mengurangi deforestasi akibat pembukaan kebun kopi yang baru dan memberikan iklim mikro yang lebih baik.
Para penikmat kopi pasti mengenal Kopi Gayo. Karena selain sebuah trade mark kopi Arabica berkualitas. Kopi yang berasal dari Dataran Tinggin Gayo Aceh ini sudah dikenal sejak abad 17. Padahal kopi, bukanlah tanaman asli Indonesia, tanaman ini dibawa oleh kolonial Belanda melalui korporasi VoC ke Indonesia pada tahun 1699 dan dibudidayakan di Pulau Jawa.
Namun setelah itu mulai dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia antara lain, di Pulau Sumatera seperti Mandailing, Dairi dan di Dataran Tinggi Gayo. Di dataran Tinggi Gayo tanaman ini mulai dikembangkan pada tahun 1924. Kopi berasal dari Afrika, dimana pada mulanya tanaman ini adalah tanaman hutan yang hidup secara liar.
Namun saat ini hampir semua orang mengenal tanaman kopi. Tercatat ada empat juta orang manusia yang meminum kopi per detik. Menu kopi disajikan untuk menghangatkan suasana dingin, penghalau rasa antuk dan menciptakan kehangatan tubuh.
Adapun kopi arabika dari dataran Tinggi Gayo, telah dikenal dunia karena memiliki citarasa khas dengan ciri utama antara lain aroma dan perisa yang kompleks dan kekentalan yang kuat. International Conference on Coffee Science, Bali, Oktober 2010 menominasikan kopi Dataran Tinggi Gayo ini sebagai the Best No 1, dibanding kopi arabika yang berasal dari tempat lain.
Kopi Gayo dari Aceh
Dataran Tinggi Gayo merupakan penghasil kopi Arabika terluas di Indonesia. Lahan yang ditanam di kopi dikawasan ini mencakup 46.493 ha, dengan jumlah petani kopi lebih dari 20.000 KK, dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat.
Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah pegunungan dengan kondisi tanah yang subur, dan iklim tropika basah, sehingga menghasilkan kopi yang memiliki cita rasa tersendiri, sehingga terkenal ke mancanegara.
Ada dua jenis tanaman kopi yang tumbuh di Kabupaten Aceh Tengah yaitu kopi Arabika yang tumbuh hanya pada ketinggian diatas 800 m dpl, dan kopi Robusta yang tumbuh baik pada dataran rendah. Ke dua kopi ini memiliki cita rasa yang berbeda dan biasanya orang yang sudah terbiasa dengan kopi robusta tidak akan menyukai kopi Arabika.
Sebagai contoh di Propinsi Aceh terkenal kopi Ulhee Kareng, dimana kopi yang dijual adalah jenis robusta. Karena itu pada umumnya masyakarat di Banda Aceh atau daerah pesisir lebih mengenal cita rasa kopi robusta.
Sedangkan kopi Arabika lebih banyak di ekspor ke Amerika, Europa, Jepang dan berbagai negara lainnya. Walaupun penikmat kopi tentunya akan menyukai cita rasa kopi ini. Salah satunya adalah gerai khas kopi Starbucks yang terkenal. Para penikmat kopi akan sangat mengenal kualitas kopi strabucks, selain kualitas yang baik juga dengan harga yang hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas.
Kopi dan Perubahan IklimPembukaan lahan untuk perkebunan kopi akibat sebagai dampak animo masyarakat yang menggemari kopi, ternyata ada kaitannya dengan perubahan iklim. Berdasarkan hasil survei dari Conservation International pada tahun 2009, bahwa petani kopi telah memperluas kebun-kebun mereka pada kawasan hutan.
Aryos Nevada, melaporkan bahwa penyebab tertinggi deforestasi di kabupaten Aceh Tengah adalah disebabkan oleh perluasan kebun kopi masyarakat ke dalam kawasan hutan. Hal ini didukung pula dengan wawancara dengan masyarakat petani kopi bahwa mereka melakukan peluasan kebun kopi disebabkan setelah 5-6 tahun pohon kopi berproduksi maka produksinya akan menurun sangat tajam hanya mencapai 40- 60 %. Oleh karena itu masyarakat mencari lahan baru untuk perluasan kebun kopi, tentunya kawasan hutan.
BACA JUGA : Kopi Konservasi
Salah satu upaya untuk mengurangi deforestasi terhadap hutan sekaligus juga untuk menyelamatkan hutan di dataran tinggi gayo adalah mengubah pola tanam kopi yaitu dari monokultur menjadi heterokultur yang dikenal sebagai agroforestry.
Selama ini masyarakat memang menanam kopi secara tumpang sari, namun tanaman selanya adalah dengan tanaman semusim ketika pohon kopi masih kecil. Sedangkan pohon pelindung yang umum digunakan adalah jenis lamtoro, yang secara ekonomi tidak memberikan nilai tambah.
Seperti diketahui bahwa kopi pada awalnya adalah tumbuh di kawasan hutan pada daerah ketinggian, maka sudah selayaknya kondisi ini kita kembalikan, yaitu dengan membuat kebun kopi yang mix-culture yaitu menumbukan bermacam jenis pohon pelindung yang bermanfaat secara ekonomi dan diselingi dengan tanaman semusim seperti cabe. Di Kabupaten Aceh Tengah pola agroforestri di gunakan sejak lama, selain lamtoro, juga ditanam, jeruk, alpokat, nangka dan tanaman pohon lainnya.
LEBIH LANJUT : Kopi Aceh Selamatkan Lingkungan
Jadi untuk menghasilkan pengelolaan kopi yang berkelanjutan, disarankan untuk memberlakukan sistem agroforestri. Sistem ini dapat meningkatkan nilai produksi kopi sekaligus memberikan mutu kopi yang lebih baik, juga akan menjaga ketersediaan air serta mengurangi deforestasi akibat pembukaan kebun kopi yang baru dan memberikan iklim mikro yang lebih baik.
0 komentar