TEMPO.CO , Jakarta--Jika
benar kopi Gayo kini memiliki cita rasa beragam dan semakin baik dalam
2-3 tahun terakhir seperti yang dikatakan Adi Wicaksono Taroepratjeka,
seorang Q grader--ahli uji rasa kopi, lalu apa yang menyebabkan itu
terjadi?
Faktor tanah dan lingkungan sekitar memang amat menentukan, tapi itu saja tak cukup. Munculnya multirasa kopi spesial Nusantara ini ternyata dipicu oleh pengolahan kopi pasca-panen yang berbeda. Dan itu disebabkan oleh Internet. Bagaimana bisa Internet mempengaruhi rasa kopi? Koran Tempo edisi Ahad, 18 November 2012 mengulas soal kopi premium di Indonesia.
Dulu, perdagangan kopi selalu memakai perantara. Kopi dibeli oleh tengkulak, dikumpulkan di gudang, dijual ke makelar luar negeri, seperti Singapura, baru ke perusahaan pengolahan kopi di berbagai negara. Kini, setelah ada Internet, para pengelola kopi luar negeri banyak yang potong kompas, mendatangi langsung para petani di desa-desa Indonesia.
Adi melihat, mata rantai penjualan kopi yang kian pendek merupakan faktor penyebab terjadinya multirasa kopi Indonesia tersebut. “Buyer bisa meminta perubahan pengolahan kopi pasca-panen,” kata Adi. Akibatnya, beda petani, beda kebun, akan bisa berbeda rasa kopinya, tergantung bagaimana pengolahan pasca-panennya. Sebelumnya, kata Adi, petani umumnya hanya mengenal satu cara pengolahan, yakni proses natural. Petani memetik buah kopi kemudian langsung menjemurnya hingga kering.
Kini ada banyak alternatif pengolahan. Ada yang dicuci bersih baru dijemur; dicuci lalu dijemur setengah kering dan terus digiling. Ada juga yang menginginkan fermentasi yang tiga kali lebih lama (3 x 12 jam). “Setiap metode pengolahan akan menghasilkan karakter rasa yang berbeda-beda,” ujar Adi.
Adi mengaku belum bisa memastikan apakah kian karyanya cita rasa kopi Indonesia ini memberi keuntungan ataukah kerugian dalam jangka panjang. Misalnya, berkaitan dengan penerapan standar kualitas kopi. “Ini memang menyangkut quality control,” kata Adi.
Spektrum rasa yang sangat beragam ini, menurut Adi, bisa dibilang hanya terjadi di Indonesia. Negara penghasil kopi lainnya, seperti Brasil dan Ethiopia, mempunyai pakem pengolahan kopinya. Apalagi, di Brasil, produsen kopi umumnya adalah perkebunan pribadi milik keluarga kaya sehingga rasa cenderung seragam. Keseragaman ini bisa dikatakan sebagai hasil quality control yang bagus, tapi bisa juga ditafsirkan sebagai kemiskinan cita rasa.
Yang pasti, menurut Adi, beragam cita rasa itu membuat kopi Indonesia bisa memenuhi banyak pasar. Bisa masuk ke pasar Amerika, Jepang, Korea, yang selera rasanya berbeda-beda. Adi mencontohkan, PT Perkebunan Nusantara XII di Jawa Timur punya kebun-kebun kopi yang dikhususkan untuk kawasan tertentu. Ada kebun khusus untuk Italia, Amerika Serikat, dan Jepang.
IQBAL MUHTAROM | ISTIQOMATUL HAYATI | MAHBUB DJUNAIDY (JEMBER) | HIMAS PUSPITO PUTRA (TORAJA) | KETUT EFRATA (BANGLI)
Sumber: http://www.tempo.co
Faktor tanah dan lingkungan sekitar memang amat menentukan, tapi itu saja tak cukup. Munculnya multirasa kopi spesial Nusantara ini ternyata dipicu oleh pengolahan kopi pasca-panen yang berbeda. Dan itu disebabkan oleh Internet. Bagaimana bisa Internet mempengaruhi rasa kopi? Koran Tempo edisi Ahad, 18 November 2012 mengulas soal kopi premium di Indonesia.
Dulu, perdagangan kopi selalu memakai perantara. Kopi dibeli oleh tengkulak, dikumpulkan di gudang, dijual ke makelar luar negeri, seperti Singapura, baru ke perusahaan pengolahan kopi di berbagai negara. Kini, setelah ada Internet, para pengelola kopi luar negeri banyak yang potong kompas, mendatangi langsung para petani di desa-desa Indonesia.
Adi melihat, mata rantai penjualan kopi yang kian pendek merupakan faktor penyebab terjadinya multirasa kopi Indonesia tersebut. “Buyer bisa meminta perubahan pengolahan kopi pasca-panen,” kata Adi. Akibatnya, beda petani, beda kebun, akan bisa berbeda rasa kopinya, tergantung bagaimana pengolahan pasca-panennya. Sebelumnya, kata Adi, petani umumnya hanya mengenal satu cara pengolahan, yakni proses natural. Petani memetik buah kopi kemudian langsung menjemurnya hingga kering.
Kini ada banyak alternatif pengolahan. Ada yang dicuci bersih baru dijemur; dicuci lalu dijemur setengah kering dan terus digiling. Ada juga yang menginginkan fermentasi yang tiga kali lebih lama (3 x 12 jam). “Setiap metode pengolahan akan menghasilkan karakter rasa yang berbeda-beda,” ujar Adi.
Adi mengaku belum bisa memastikan apakah kian karyanya cita rasa kopi Indonesia ini memberi keuntungan ataukah kerugian dalam jangka panjang. Misalnya, berkaitan dengan penerapan standar kualitas kopi. “Ini memang menyangkut quality control,” kata Adi.
Spektrum rasa yang sangat beragam ini, menurut Adi, bisa dibilang hanya terjadi di Indonesia. Negara penghasil kopi lainnya, seperti Brasil dan Ethiopia, mempunyai pakem pengolahan kopinya. Apalagi, di Brasil, produsen kopi umumnya adalah perkebunan pribadi milik keluarga kaya sehingga rasa cenderung seragam. Keseragaman ini bisa dikatakan sebagai hasil quality control yang bagus, tapi bisa juga ditafsirkan sebagai kemiskinan cita rasa.
Yang pasti, menurut Adi, beragam cita rasa itu membuat kopi Indonesia bisa memenuhi banyak pasar. Bisa masuk ke pasar Amerika, Jepang, Korea, yang selera rasanya berbeda-beda. Adi mencontohkan, PT Perkebunan Nusantara XII di Jawa Timur punya kebun-kebun kopi yang dikhususkan untuk kawasan tertentu. Ada kebun khusus untuk Italia, Amerika Serikat, dan Jepang.
IQBAL MUHTAROM | ISTIQOMATUL HAYATI | MAHBUB DJUNAIDY (JEMBER) | HIMAS PUSPITO PUTRA (TORAJA) | KETUT EFRATA (BANGLI)
Sumber: http://www.tempo.co
0 komentar